Hkbp Dan Katolik

Hkbp Dan Katolik

Drs Hendrik Halomoan Sitompul MM menghadiri 3 (tiga) acara Pesta Puncak Tahun Kesehatian Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dan Penggalangan Dana Pembangunan Gereja HKBP di Medan, Minggu (16/10).

Ketiganya di Gereja HKBP Moria Sei Mencirim, Gereja HKBP Dame Helvetia dan Gereja HKBP Ressort Padang Bulan Medan.

Pria warga Katolik petugas Pelayanan Luar Biasa Komuni Suci (PLBKS) Perdana Gereja Katolik St Antonius Jalan Hayam Wuruk Medan itu berkaritas Rp55 juta.

“Saya bersyukur dipakai-Nya bersama umat-Nya khususnya warga HKBP dalam membangun rumah-Nya,” ujarnya sesaat hendak kembali bertugas di Senayan Jakarta, Senin (17/10).

Anggota Komisi VII DPR RI itu mengatakan, seharian penuh pada Minggu (16/10) mengikuti pesta gereja dan pesta adat. Dimulai Misa Ekaristi di Diski - Deliserdang termasuk pesta adat Raja Toga Sitompul.

“Khusus Pesta Puncak Penggalangan Dana, rehab Gereja HKBP Padang Bulan, adalah kunjungan gerejawi terakhir untuk gelombang masa tugas kali ini,” tambahnya.

Ia mengurai, kunjungan gerejawi yang dilakukan anggota DPR RI masih dilakukannya seorang diri.

“Saya berharap ada lagi legislator yang melakukan seperti ini guna peningkatan kinerja dan capaian lainnya. Bantu saya memperjuangkan hasrat, visi dan misi anak-anak Tuhan guna membangun rumah-Nya,” tambah anggota DPR RI dari Dapil Sumut I - Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagei dan Tebing Tinggi tersebut.

Sebelumnya, dalam hal kunjungan gerejawi, ia melakukan ke hampir seluruh pucuk pimpinan sinode gereja yang ada di Sumut termasuk ke Praeses Distrik X Medan Aceh guna berdonasi rehab kantor yang terletak di Jalan Uskup Agung Sugiopranoto Medan tersebut.

Di Gereja HKBP Ressort Padang Bulan Medan, ia sempat berdialog dengan tokoh masyarakat yang hadir.

Di antaranya Ketua Tahun Kesehatian HKBP Distrik X Medan - Aceh Dr Maruli Siahaan SH MH, Pdt Bilker Simamora, Sanggam SH Bakara bersama keluarga intinya, Penasihat Yayasan Pendidikan Akbid Senior Ruminta Br Simanulang yang diikuti Ketua Panitia Pembangunan Romein Manalu, Komisaris Sektor, dari Sektor 2 Jhoni Naibaho dan undangan lainnya.

Sebelum meninggalkan lokasi, Hendrik Sitompul mengalunkan “Hidup Ini adalah Kesempatan”. (R10/c)

TRIBUN-MEDAN.COM,TARUTUNG - Dua gereja yang ada di Kecamatan Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatra Utara dibobol maling.

Adapun gereja yang dibobol maling itu yakni Gereja HKBP Urat Ni Huta di Desa Hutabulu dan Gereja Khatolik Santo Thomas di Desa Sitabotabo.

Keduanya berada di Kecamatan Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara.

Menurut pengetua gereja HKBP, Taripar Simanjuntak, ia baru tahu rumah ibadah dibobol maling pada Minggu (16/7/2023).

Baca juga: ABU Janda Sebut Najwa Shihab Rasis, Tak Pernah Angkat Kasus Pembubaran Gereja: Di Depan Mata Anda

Saat itu, petugas kebersihan melapor, bahwa pintu gereja sudah dalam keadaan terbuka.

Ketika dicek, alat musik yang ada di dalam gereja sudah raib.

"Barang yang hilang keyboard Yamaha PSR E363, amply power, dua unit super sound CSBO, satu unit mikropon dan satu unit adaptor," kata Taripar, Jumat (21/7/2023).

Taripar mengatakan, dugaan sementara aksi pencurian berlangsung pada Minggu (16/7/2023) dinihari.

Baca juga: Jamin Kenyamanan Ibadah Minggu, Personel Polres Tanjungbalai Lakukan Pengamanan Gereja

Sebab, kata dia, pada Sabtu (15/7/2023), semua barang yang hilang masih sempat dipakai pemuda gereja saat melaksanakan koor.

Setelah kegiatan selesai sekira pukul 22.00 WIB , mereka semua pergi dan mengunci gereja serta menyimpan alat-alat musik gereja yang dipakai di tempat semula.

Senada disampaikan Ketua Dewan Stasi Gereja Katolik Santo Thomas Desa Sitabotabo, Bidner Nababan.

Katanya, aksi pencurian baru diketahui pada Senin (17/7/2023) sekira pukul 17.00 WIB.

Baca juga: Lama tak Kunjung Ditangkap, Kini Buronan KPK Harun Masiku Terdeteksi, Info di Masjid hingga Gereja

Adapun barang yang hilang berupa keyboard Yamaya dan mixer.

Atas peristiwa ini, pihak gereja berharap pelaku bisa ditangkap.

Gereja meminta agar polisi mengusut kasus ini.(cr3/tribun-medan.com)

JAKARTA, Pena Katolik – Sepintas, Alkitab Katolik dan Protestan terlihat sama, dengan kitab-kitab dasar yang sama dikumpulkan bersama dalam satu volume. Namun, jika dilihat lebih dekat, Alkitab Protestan kehilangan beberapa kitab yang termasuk dalam Alkitab Katolik.

Pertama, orang-orang Kristen tidak memiliki satu pun volume teks yang diilhami selama kira-kira 300 tahun pertama. Penciptaan dan kompilasi Alkitab adalah proses yang panjang. Para pemimpin Gereja mula-mula menyaring banyak manuskrip dan membedakan, menggunakan beberapa kriteria historis, doktrinal, dan teologis yang berbeda, kitab mana yang harus disimpan dan dimasukkan dalam kanon, dan kitab mana yang harus disisihkan.

Perjanjian Lama sebagian besar didasarkan pada terjemahan Yunani dari teks-teks Ibrani yang diterima secara luas sebagai terjemahan yang sah (dan bahkan diilhami). Ini dikenal sebagai “Septuaginta” (dari kata Yunani untuk 70) dan sangat populer di kalangan orang Yahudi berbahasa Yunani.

Persetujuan kitab-kitab mana yang akan dimasukkan dalam Perjanjian Baru dimulai dengan Konsili Laodikia pada tahun 363, dilanjutkan ketika Paus Damasus I menugaskan St. Jerome menerjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa Latin pada tahun 382, ​​dan diselesaikan secara pasti selama Sinode Hippo (393) dan Kartago (397).

Tujuannya adalah untuk mengabaikan semua karya keliru yang beredar pada saat itu dan menginstruksikan Gereja-Gereja setempat tentang kitab-kitab mana yang boleh dibacakan dalam Misa.

Sebagai hasil dari sinode-sinode ini, Alkitab tetap tidak berubah sampai reformasi Protestan.

Setelah abad ke-16, setiap pemimpin Protestan utama memiliki interpretasi yang berbeda mengenai iman Kristen dan peran Alkitab. Ini mengarah pada proses di mana berbagai kitab dalam Alkitab dihapus karena “ketidaksesuaian” mereka dengan kepercayaan Protestan.

Selanjutnya, Protestan biasanya menggunakan daftar kitab-kitab Perjanjian Lama yang disetujui oleh para sarjana Ibrani di kemudian hari, mungkin pada abad ke-2 atau ke-3 Masehi. Katolik, di sisi lain, menggunakan Septuaginta Yunani sebagai dasar utama untuk Perjanjian Lama.

Ini berarti bahwa Alkitab Protestan hanya memiliki 39 kitab dalam Perjanjian Lama, sedangkan Alkitab Katolik memiliki 46. Tujuh kitab tambahan yang termasuk dalam Alkitab Katolik adalah Tobit, Judith, 1 dan 2 Makabe, Kebijaksanaan, Sirakh, dan Baruch. Kanon Katolik juga mencakup bagian dari Kitab Ester dan Daniel yang tidak ditemukan dalam Alkitab Protestan.

Beberapa Alkitab Protestan masih memasukkan kitab-kitab ini, sementara yang lain tidak. Karena ada banyak denominasi Protestan di seluruh dunia, daftarnya bervariasi sesuai dengan praktik masing-masing gereja Kristen.

01. PengantarSudah tidak rahasia lagi, bahwa sejak ratusan tahun yang lalu, gereja Luhteran (Protestan) dan Gereja Roma Katolik (GRK) memiliki paham yang berbeda secara mendasar, yakni sekitar pembenaran oleh Iman. Bagi Lutheran konsep pembenaran hanya karena iman, sedang bagi GRK seseorang dapat dibenarkan melalui jasa-jasanya yang dipersembahkan demi pembangunan gereja. Perbedaan ini mempengaruhi sendi-sendi kehidupan bergereja dan interaksi kedua denominasi gereja, salah satu di antaranya berkaitan dengan pernikahan. HKBP sebagai bagian dari gereja-gereja Lutheran menganut pemahaman yang sama. Makanya selama ini, HKBP tidak pernah memperbolehkan anggota jemaatnya menikah dengan anggota GRK (kalau ada yang menikah, si mempelai tersebut dikucilkan dari keanggotaan di HKBP). Tetapi setelah adanya pernyataan bersama antara pimpinan Gereja RK dan gereja Lutheran beberapa tahun yang lalu, keadaan menjadi berubah. Sebagian jemaat HKBP menerima dengan terbuka pernikahan antara mempelai yang berasal dari GRK dengan anggota jemaat HKBP, tetapi sebagian masih ada yang belum mengakui keabsahannya dan mengucilkan anggota jemaat yang menikah dengan anggota jemaat RK. Artinya, masih terdapat sikap yang mendua dari HKBP.Untuk itulah dirasa penting mengangkat persoalan ini dalam tulisan ini, agar dengan bijaksana setiap anggota jemaat memahami dan menyikapi proses pernikahan antar denominasi ini dengan benar.02. Sekilas Kesepakatan gereja RK dengan gereja Lutheran Kesepakatan antara Gereja Lutheran Dunia (Lutheran World Federation) dengan Gereja RK ditandatangani bersama pada tanggal 31 Oktober 1999, oleh pihak LWF yang diwakili oleh Bishop Christian Krause dan Rev. Dr. Ismail Noko, dan dari pihak gereja RK diwakili Edward Idris, Cardinal Cassidy. Isi kesepakatan itu adalah tentang ajaran “Pembenaran oleh Iman” (Joint Declaration on The Doctrin of Justification). Pernyataan ini menunjukkan kesepahaman kedua denominasi gereja bahwa dalam iman Kristiani, kita hidup dan dibenarkan oleh Allah bukan berdasarkan apa yang telah kita lakukan (jasa), tetapi berdasarkan anugerah dan kasih Allah yang kita terima dalam iman.Kesepakatan ini merupakan pintu untuk saling menerima, saling mengakui di antara kedua denominasi gereja. Namun demikian, bukan seluruhnya ajaran gereja RK yang otomatis diterima oleh gereja Lutheran. Sebab, gereja Lutheran tidak mengakui adanya 7 (tujuh) Sakramen, termasuk soal kitab-kitab Deutrokanonik yang membedakan jumlah isi Alkitab yang dipakai Lutheran dengan RK. Karena itu adalah naif, bila secara otomatis kita mengatakan bahwa Lutheran dengan RK sama. Namun tembok pemisah utama yang selama ini membedakan kita dengan RK kini sudah dibuka, dan kita dapat bertemu, saling menerima dan mengakui satu dengan yang lain, namun tidak melupakan ciri khas masing-masing. 03. Apakah diperbolehkan Pernikahan antardenominasi ini?Dari pernyataan kesepakatan bersama yang telah ditandatangani di atas, pada dasarnya pernikahan antardenominasi (HKBP dan GRK) telah dapat diterima, dan ini telah disepakati pada rapat pendeta HKBP tanggal 1-5 Agustus 2005 yang lalu. Hanya saja perlu dilakukan penggembalaan khusus bagi anggota jemaat yang menikah dalam konteks antardenominasi ini. Hal ini penting, mengingat masih ada perbedaan dalam hal pelaksanaan liturgi pernikahan antara HKBP dengan GRK.Bagi mereka perlu dijelaskan secara mendetail bentuk dan tatacara pernikahan dalam gereja HKBP, demikian juga dari pihak GRK, agar masing-masing saling memahami perbedaan dan persamaan liturgi dimaksud, dengan demikian mereka dapat menghayati makna yang mendalam dari pernikahan dimaksud. Bagi HKBP pernikahan tidak dipandang sebagai sakramen, sedangkan bagi GRK itu merupakan bagian dari sakramen.Mengingat masih ada beberapa hal yang perlu diperjelas dalam kesepakatan bersama antara Lutheran dan GRK (antara lain: apakah anggota jemaat GRK yang nikah dengan anggota jemaat HKBP harus naik sidi? ), rapat Pendeta HKBP menyepakati perlunya penjelasan yang lebih mendalam (lewat Komisi teologi dan komisi Liturgi) dari pimpinan HKBP dan dijemaatkan ke seluruh jemaat HKBP. Semoga dengan penjelasan yang singkat dan sederhana ini dapat membantu anggota jemaat HKBP agar tidak lagi enggan atau takut dalam menjalin hubungan cintakasih (menikah) dengan anggota jemaat GRK. Kiranya Roh Kudus yang satu itu memampukan semua anggota jemaat (termasuk pada pelayan gereja) untuk saling memahami dan bersedia saling menerima dalam perbedaan, sepanjang tidak menyimpang dari ajaran Alkitab. (Penulis adalah Pdt. Daniel Napitupulu, M.M., tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi September 2005)